RK: Kalau teman2 blm membaca, dan ingin tahu mengapa civitas academica UI melawan Rektor, ini ada tulisan agak panjang dari ade armando, sy copas dr teman2 di UI. Boleh disebarkan agar masyarakat tahu mengapa ada perlawanan:
Berkaitan dengan kekisruhan di Universitas Indonesia yang bermula dari kontroversi pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Raja Saudi yang kemudian berkembang menjadi gerakan pelengseran Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri, nampaknya ada beberapa hal yang saya rasa perlu diluruskan.
Saya dari UI, lebih spesifik lagi dari FISIP UI. Saya termasuk yang marah dengan apa yang dilakukan rektor UI saat ini, walau dia juga dari FISIP UI. Tapi isunya bukan cuma soal pemberian gelar Doktor kepada sang Raja. Pemberian gelar itu jelas bermasalah dan memalukan, tapi itu sebetulnya hanya semacam puncak dari gunung es persoalan-persoalan yang ditimbulkan pola kepemimpinan sang rektor.
Saya memutuskan terlibat dalam gerakan menggugat kepemimpinan Gumilar, karena apa yang dilakukannya selama ini bukan saja mencederai imej UI, namun juga bertentangan dengan amanat agar UI menjadi lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya mengabdi pada kepentingan rakyat luas.
Saya merasa bahwa civitas academica di dalam UI wajib untuk terlibat menggugat kepemimpinan Rektor karena, sebagaimana dikatakan Prof. Emil Salim dalam orasinya yang sangat mengesankan di Fakultas Ekonomi 5 September kemarin, perguruan tinggi seharusnya berfungsi sebagai mercu suar penerang di tengah kegelapan yang harus menjunjung tnggi kejujuran moral.
Gumilar harus digugat karena ia memimpin UI dengan imej-diri sebagai seorang penguasa yang berhak, memerintah UI dengan sewenang-wenang.
Bisa dibilang, sang rektor memerintah dengan mengabaikan dua prinsip utama dalam prinsip good governance: transparansi dan akuntabilitas. Kalau saja, dengan kekuasaan itu, ia menjalankan amanat dengan baik, mungkin masalahnya akan lain. Namun, sebagaimana cerita penguasa otoriter di banyak belahan dunia, tanpa adanya kendali, sang penguasa terus melakukan langkah-langka yang merugikan masyarakat.
Dia memang adalah rektor pertama yang tidak dipilih dari bawah (melalui proses pemilihan di tingkat Guru Besar dan Senat Akademik sebagaimana di masa-masa sebelumnya) melainkan oleh Majelis Wali Amanat plus Mendiknas.
Sayangnya, karena merasa dirinya tidak dipilih oleh masyarakat akademik, dia merasa tak perlu melibatkan, terbuka dan bertanggungjawab pada masyarakat UI.
Soal pemberian gelar pada sang Raja Saudi adalah salah satu contohnya. Gagasan itu memang sudah pernah diutarakan oleh sejumlah kalangan dekatnya beberapa tahun lalu. Tapi itu adalah keputusan lingkaran kecil kekuasaan Gumilar. Itu bukanlah keputusan yang transparan dan bertangungjawab. Dia bahkan tega berbohong bahwa keputusan itu sudah pernah dikonsultasikan pada MWA atau Senat Akademik UI. Itu tak pernah dia lakukan. Dengar saja argumen-argumennya setiap hari yang terus berubah-ubah.
Agar adil, hal serupa sebenarnya dilakukan juga pada pemberian gelar-gelar doktor sebelumnya di bawah rezim Gumilar. Misalnya saja UI sudah memberikan gelar Doktor HC pada Sultan Bolkiah – sesuatu yang juga nampak bodoh tapi tak dipersoalkan karena skala dampaknya tak besar. UI di bawah Gumilar juga pernah berencana memberikan gelar Doktor HC pada Presiden Barack Obama, tapi ditolak. Yang penting di sini; seluruh keputusan ini tak dikonsultasikan dulu kepada pihak-pihak yang seharusnya mengawasi tindak laku rektor.
Sebelum ini dialah yang memutuskan UI membangun perpustakaan 8 lantai yang digambarkan sebagai 'perpustakaan terbesar di Asia'. Biayanya tak diktahui persis oleh publik. Kabarnya, 200 miliar rupiah. Dari mana dananya? Kabarnya dari anggaran pendidikan Depdiknas. Buat apa perpustakaan mewah itu dibangun? Tidak jelas. Yang jelas di kompleks perpustakan itu ada Starbucks Cafe, fasilitas kebugaran, teater untuk pemutaran film, dst dst...
Banyak pihak menganggap projek itu mubazir karena sebenarnya setiap fakultas sudah memiliki perpustakaannya sendiri-sendiri. Dengan Perpustakaan Pusat yang baru ini, seluruh buku yang semula tersedia dan mudah diakses di perpustakaan fakultas harus diboyong ke Perpustakaan Pusat. Akibatnya perpustakaan fakultas menjadi kosong melompong.
Alasan membangun perpustakaan delapan lantai pun mengherankan. Buktinya, yang dijadikan runag perpustakaan ternyata hanya sekitar 3 lantai. Lima lantai lainnya hanya diisi oleh ruang diskusi, ruang pertemuan, seminar, dan semacamnya.
Dalam kasus sebelumnya, dia mendatangkan delapan pohon raksasa dari Subang dengan biaya ratusan juta rupiah yang sekarang ditanam di sekitar gedung rektor. Buat apa? Tidak jelas. Kalau untuk penelitian, pertanyaannya: kenapa di UI? Apakah UI sedang mengembangkan pusat penelitian tanaman langka? Tidak. Jadi untuk apa? Tidak jelas.
Apakah keputusan ini pernah ia konsultasikan kepada MWA atau Senat Akademik UI? Tidak pernah!
Cara Rektor memimpin sangat otoriter. Mahasiswa yang memprotes kebijakan rektor diintimidasi, ditakut-takuti, diancam. Badan Eksekutif Mahasiswa pernah diancam dibekukan. Wartawan kampus yang menulis hal negatif tentang kampus diancam diskors. Untuk pertama kalinya untuk waktu yang lama, demonstran mahasiswa yang mengeritik mahalnya biaya pendidikan pada 17 Agustus lalu ditangani dengan kekerasan oleh satpam kampus.
Keuangan disentralisasi di Pusat. Birokrasinya berbelit-belit. Memang banyak dosen yang dininabobokkan dengan status dosen khusus yang memperoleh tambahan tunjangan, sehingga bergaji Rp 10 jutaan. Tapi banyak dosen yang gajinya terlambat dibayar atau bahkan tidak dibayar. Upah pekerja kebersihan di UI hanyalah Rp. 500-600 ribu per bulan -- jauh di bawah UMR Depok yang sekitar Rp. 900 ribu. Rektor dan konco-konconya senang berjalan-jalan ke luar negeri.
Banyak pengajar dan peneliti memilih tidak lagi mengembangkan kerjasama dengan pihak luar kampus karena kebijakan keuangan yang tersentralisasi itu menyebabkan uang yang datang dari luar harus disentralisasi di Pusat tapi kemudian sulit untuk dicairkan. Banyak peneliti yang mengeluh karena dana penelitiannya terpotong.
Terlepas dari segenap retorika tentang kampus rakyat, UI di bawah Gumilar sangat jauh dari kebijakan pro-rakyat. Gumilar dan konco2nya membuat sistem penerimaan mahasiswa baru yang memberi ruang lebih besar bagi mereka yang mampu membayar lebih. Dia punya banyak skema jalur masuk untuk itu. Rektor bahkan bisa menelepon pengelola program untuk 'mempengaruhi' agar program menerima mahasiswa yang semula sudah dinyatakan ditolak masuk karena dianggap tidak qualified.
Untuk mengamankan kekuasaannya, Rektor juga dikenal hanya memilih Dekan-dekan yang diharapkannya akan loyal pada dirinya. Ini yang menyebabkan dia kecewa sekali ketika dua Dekan muda yang dipercayanya, Dekan Fakultas Ekonomi dan Dekan Fakultas Kedokteran ternyata menjadi dua tokoh yang mengeritik tajam kepemimpinannya.
Ada banyak cerita lain yang bisa dipaparkan di sini. Saya memperoleh banyak informasi yang menunjukkan betapa buruknya pengelolaan keuangan di bawah rezim Gumilar, termasuk soal bagaimana UI harus membiayai gaya hidup sang Rektor yang mahal. Tapi saya memilih untuk berhati-hati dulu. Sebelum memang ada bukti yang tak terbantahkan, saya mungkin sebaiknya menunda pembeberan informasi ini.
Tapi saya hendak tegaskan satu hal: kalau ada wacana Rektor UI harus mundur, itu bukan karena alasan politik, kecemburuan, sentimen kelompok, agama, atau apapun. Sebagian pihak berusaha meniupkan isu bahwa kritik ini dilatarbelakangi kepentingan untuk mengembalikan tampuk rektor ke Fakultas Kedokteran. Sebagian mengaitkannya dengan isu bahwa ini ditunggangi kelompok Kristen dan Sosialis. Itu semua bohong.
Persoalan utamanya sederhana: Gumilar adalah rektor UI yang buruk karena memerintah dengan sewenang-wenang dengan mengabaikan transparansi dan akuntabilitas yang ujung-ujungnya merugikan kepentingan masyarakat luas. Saya belum berani mengatakan bahwa dia korup, tapi yang jelas dia menyalahgunakan kekuasaannya.
Dalam keputusan kontroversialnya yang terakhir, dia bahkan menyatakan bahwa MWA yang memilihnya itu demisioner. Senat Akademik Universitas yang semula memiliki hak mengontrol, dia turunkan fungsinya menjadi sekadar memberi pertimbangan. Dengan kata lain, dia berusaha membuat agar tak ada satupun kekuatan di dalam UI yang berhak mengontrolnya. Persoalan ini yang digugat Prof. Emil Salim dalam orasinya.
Bagi Emil, sebuah tata pengelolaan Universitas yang baik hanya bisa dilakukan kalau prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi tersedia dan dilaksanakan.
(Sekadar catatan: Dewan Guru besar Fakultas Hukum UI sudah mengeluarkan Legal Opinion bahwa keputusan Rektor untuk mendemisionerkan MWA dan Senat Akademik Univesitas tidak sah).
Menurut saya, menggulingkan Gumilar dari tampuk rektor hanyalah satu pilihan. Kalau saja dia mau berubah dan dalam setahun ke dapan sebelum pemilihan rektor pada Agustus 2012 dia mau menjalankan amanat memimpin UI dengan cara yang mengabdi kepada kepentingan publik, tentu dia tak perlu turun. Kalau tata kelola UI diubah, dia tentu boleh terus memimpin.
Masalahnya, banyak pihak tak percaya bahwa dia bisa berubah, bahwa dia akan bersedia menjadi pemimpin yang memimpin dengann cara transparan, akuntabel, yang bertanggungjawab pada para pemangku kepentingan.
Kalau begitu, ceritanya memang terpaksa jadi lain.
Ade Armando
Mantan Anggota Senat Akademik Fakultas
FISIP UI
Berkaitan dengan kekisruhan di Universitas Indonesia yang bermula dari kontroversi pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Raja Saudi yang kemudian berkembang menjadi gerakan pelengseran Rektor UI Gumilar Rusliwa Sumantri, nampaknya ada beberapa hal yang saya rasa perlu diluruskan.
Saya dari UI, lebih spesifik lagi dari FISIP UI. Saya termasuk yang marah dengan apa yang dilakukan rektor UI saat ini, walau dia juga dari FISIP UI. Tapi isunya bukan cuma soal pemberian gelar Doktor kepada sang Raja. Pemberian gelar itu jelas bermasalah dan memalukan, tapi itu sebetulnya hanya semacam puncak dari gunung es persoalan-persoalan yang ditimbulkan pola kepemimpinan sang rektor.
Saya memutuskan terlibat dalam gerakan menggugat kepemimpinan Gumilar, karena apa yang dilakukannya selama ini bukan saja mencederai imej UI, namun juga bertentangan dengan amanat agar UI menjadi lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya mengabdi pada kepentingan rakyat luas.
Saya merasa bahwa civitas academica di dalam UI wajib untuk terlibat menggugat kepemimpinan Rektor karena, sebagaimana dikatakan Prof. Emil Salim dalam orasinya yang sangat mengesankan di Fakultas Ekonomi 5 September kemarin, perguruan tinggi seharusnya berfungsi sebagai mercu suar penerang di tengah kegelapan yang harus menjunjung tnggi kejujuran moral.
Gumilar harus digugat karena ia memimpin UI dengan imej-diri sebagai seorang penguasa yang berhak, memerintah UI dengan sewenang-wenang.
Bisa dibilang, sang rektor memerintah dengan mengabaikan dua prinsip utama dalam prinsip good governance: transparansi dan akuntabilitas. Kalau saja, dengan kekuasaan itu, ia menjalankan amanat dengan baik, mungkin masalahnya akan lain. Namun, sebagaimana cerita penguasa otoriter di banyak belahan dunia, tanpa adanya kendali, sang penguasa terus melakukan langkah-langka yang merugikan masyarakat.
Dia memang adalah rektor pertama yang tidak dipilih dari bawah (melalui proses pemilihan di tingkat Guru Besar dan Senat Akademik sebagaimana di masa-masa sebelumnya) melainkan oleh Majelis Wali Amanat plus Mendiknas.
Sayangnya, karena merasa dirinya tidak dipilih oleh masyarakat akademik, dia merasa tak perlu melibatkan, terbuka dan bertanggungjawab pada masyarakat UI.
Soal pemberian gelar pada sang Raja Saudi adalah salah satu contohnya. Gagasan itu memang sudah pernah diutarakan oleh sejumlah kalangan dekatnya beberapa tahun lalu. Tapi itu adalah keputusan lingkaran kecil kekuasaan Gumilar. Itu bukanlah keputusan yang transparan dan bertangungjawab. Dia bahkan tega berbohong bahwa keputusan itu sudah pernah dikonsultasikan pada MWA atau Senat Akademik UI. Itu tak pernah dia lakukan. Dengar saja argumen-argumennya setiap hari yang terus berubah-ubah.
Agar adil, hal serupa sebenarnya dilakukan juga pada pemberian gelar-gelar doktor sebelumnya di bawah rezim Gumilar. Misalnya saja UI sudah memberikan gelar Doktor HC pada Sultan Bolkiah – sesuatu yang juga nampak bodoh tapi tak dipersoalkan karena skala dampaknya tak besar. UI di bawah Gumilar juga pernah berencana memberikan gelar Doktor HC pada Presiden Barack Obama, tapi ditolak. Yang penting di sini; seluruh keputusan ini tak dikonsultasikan dulu kepada pihak-pihak yang seharusnya mengawasi tindak laku rektor.
Sebelum ini dialah yang memutuskan UI membangun perpustakaan 8 lantai yang digambarkan sebagai 'perpustakaan terbesar di Asia'. Biayanya tak diktahui persis oleh publik. Kabarnya, 200 miliar rupiah. Dari mana dananya? Kabarnya dari anggaran pendidikan Depdiknas. Buat apa perpustakaan mewah itu dibangun? Tidak jelas. Yang jelas di kompleks perpustakan itu ada Starbucks Cafe, fasilitas kebugaran, teater untuk pemutaran film, dst dst...
Banyak pihak menganggap projek itu mubazir karena sebenarnya setiap fakultas sudah memiliki perpustakaannya sendiri-sendiri. Dengan Perpustakaan Pusat yang baru ini, seluruh buku yang semula tersedia dan mudah diakses di perpustakaan fakultas harus diboyong ke Perpustakaan Pusat. Akibatnya perpustakaan fakultas menjadi kosong melompong.
Alasan membangun perpustakaan delapan lantai pun mengherankan. Buktinya, yang dijadikan runag perpustakaan ternyata hanya sekitar 3 lantai. Lima lantai lainnya hanya diisi oleh ruang diskusi, ruang pertemuan, seminar, dan semacamnya.
Dalam kasus sebelumnya, dia mendatangkan delapan pohon raksasa dari Subang dengan biaya ratusan juta rupiah yang sekarang ditanam di sekitar gedung rektor. Buat apa? Tidak jelas. Kalau untuk penelitian, pertanyaannya: kenapa di UI? Apakah UI sedang mengembangkan pusat penelitian tanaman langka? Tidak. Jadi untuk apa? Tidak jelas.
Apakah keputusan ini pernah ia konsultasikan kepada MWA atau Senat Akademik UI? Tidak pernah!
Cara Rektor memimpin sangat otoriter. Mahasiswa yang memprotes kebijakan rektor diintimidasi, ditakut-takuti, diancam. Badan Eksekutif Mahasiswa pernah diancam dibekukan. Wartawan kampus yang menulis hal negatif tentang kampus diancam diskors. Untuk pertama kalinya untuk waktu yang lama, demonstran mahasiswa yang mengeritik mahalnya biaya pendidikan pada 17 Agustus lalu ditangani dengan kekerasan oleh satpam kampus.
Keuangan disentralisasi di Pusat. Birokrasinya berbelit-belit. Memang banyak dosen yang dininabobokkan dengan status dosen khusus yang memperoleh tambahan tunjangan, sehingga bergaji Rp 10 jutaan. Tapi banyak dosen yang gajinya terlambat dibayar atau bahkan tidak dibayar. Upah pekerja kebersihan di UI hanyalah Rp. 500-600 ribu per bulan -- jauh di bawah UMR Depok yang sekitar Rp. 900 ribu. Rektor dan konco-konconya senang berjalan-jalan ke luar negeri.
Banyak pengajar dan peneliti memilih tidak lagi mengembangkan kerjasama dengan pihak luar kampus karena kebijakan keuangan yang tersentralisasi itu menyebabkan uang yang datang dari luar harus disentralisasi di Pusat tapi kemudian sulit untuk dicairkan. Banyak peneliti yang mengeluh karena dana penelitiannya terpotong.
Terlepas dari segenap retorika tentang kampus rakyat, UI di bawah Gumilar sangat jauh dari kebijakan pro-rakyat. Gumilar dan konco2nya membuat sistem penerimaan mahasiswa baru yang memberi ruang lebih besar bagi mereka yang mampu membayar lebih. Dia punya banyak skema jalur masuk untuk itu. Rektor bahkan bisa menelepon pengelola program untuk 'mempengaruhi' agar program menerima mahasiswa yang semula sudah dinyatakan ditolak masuk karena dianggap tidak qualified.
Untuk mengamankan kekuasaannya, Rektor juga dikenal hanya memilih Dekan-dekan yang diharapkannya akan loyal pada dirinya. Ini yang menyebabkan dia kecewa sekali ketika dua Dekan muda yang dipercayanya, Dekan Fakultas Ekonomi dan Dekan Fakultas Kedokteran ternyata menjadi dua tokoh yang mengeritik tajam kepemimpinannya.
Ada banyak cerita lain yang bisa dipaparkan di sini. Saya memperoleh banyak informasi yang menunjukkan betapa buruknya pengelolaan keuangan di bawah rezim Gumilar, termasuk soal bagaimana UI harus membiayai gaya hidup sang Rektor yang mahal. Tapi saya memilih untuk berhati-hati dulu. Sebelum memang ada bukti yang tak terbantahkan, saya mungkin sebaiknya menunda pembeberan informasi ini.
Tapi saya hendak tegaskan satu hal: kalau ada wacana Rektor UI harus mundur, itu bukan karena alasan politik, kecemburuan, sentimen kelompok, agama, atau apapun. Sebagian pihak berusaha meniupkan isu bahwa kritik ini dilatarbelakangi kepentingan untuk mengembalikan tampuk rektor ke Fakultas Kedokteran. Sebagian mengaitkannya dengan isu bahwa ini ditunggangi kelompok Kristen dan Sosialis. Itu semua bohong.
Persoalan utamanya sederhana: Gumilar adalah rektor UI yang buruk karena memerintah dengan sewenang-wenang dengan mengabaikan transparansi dan akuntabilitas yang ujung-ujungnya merugikan kepentingan masyarakat luas. Saya belum berani mengatakan bahwa dia korup, tapi yang jelas dia menyalahgunakan kekuasaannya.
Dalam keputusan kontroversialnya yang terakhir, dia bahkan menyatakan bahwa MWA yang memilihnya itu demisioner. Senat Akademik Universitas yang semula memiliki hak mengontrol, dia turunkan fungsinya menjadi sekadar memberi pertimbangan. Dengan kata lain, dia berusaha membuat agar tak ada satupun kekuatan di dalam UI yang berhak mengontrolnya. Persoalan ini yang digugat Prof. Emil Salim dalam orasinya.
Bagi Emil, sebuah tata pengelolaan Universitas yang baik hanya bisa dilakukan kalau prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi tersedia dan dilaksanakan.
(Sekadar catatan: Dewan Guru besar Fakultas Hukum UI sudah mengeluarkan Legal Opinion bahwa keputusan Rektor untuk mendemisionerkan MWA dan Senat Akademik Univesitas tidak sah).
Menurut saya, menggulingkan Gumilar dari tampuk rektor hanyalah satu pilihan. Kalau saja dia mau berubah dan dalam setahun ke dapan sebelum pemilihan rektor pada Agustus 2012 dia mau menjalankan amanat memimpin UI dengan cara yang mengabdi kepada kepentingan publik, tentu dia tak perlu turun. Kalau tata kelola UI diubah, dia tentu boleh terus memimpin.
Masalahnya, banyak pihak tak percaya bahwa dia bisa berubah, bahwa dia akan bersedia menjadi pemimpin yang memimpin dengann cara transparan, akuntabel, yang bertanggungjawab pada para pemangku kepentingan.
Kalau begitu, ceritanya memang terpaksa jadi lain.
Ade Armando
Mantan Anggota Senat Akademik Fakultas
FISIP UI
-----------------------
-----------------------
sumber: milist akuntansifeui2006
Post Comment
Post a Comment
Hai!
Terima kasih banyak ya sudah berkunjung. Semoga artikel tersebut bermanfaat.
Sebelum beralih ke artikel selanjutnya, tulis komentar dong... bisa pakai Name/URL. Kalau tidak punya blog, cukup tulis nama.
Ku tunggu kedatanganmu kembali.
Jika ada yang kurang jelas atau mau bekerja sama, silakan kirim e-mail ke helenamantra@live.com
Salam,
Helena