Life of Happy Mom - Indonesian blog about parenting, health, & up and down of life.

Image Slider

Jika Aku Menjadi @pengajarmuda di Wana, Palu, Sulteng, Indonesia

Monday, April 23, 2012
Kamu Perlu Tahu

Besok mau ke desa suku Tolare*. / Hahaha, eh ada? / Mereka tinggal di atas gunung, jalan kaki 1 jam. Kita ke sana dengan dokter, perawat, dan mahasiswa KKN untuk penyuluhan kesehatan. Are you sure wanna join? / Oke siap!
View from Wana, Palu, Central Celebes, Indonesia

Respon pertama saya waktu diajak Ms. CNL adalah ketawa. Kenapa? Memangnya ada ya suku Tolare? Dalam bahasa Kaili (bahasa daerah Palu), tolare artinya ndeso alias udik. Wah gimana ya penduduk di sana? Lumayan ada kegiatan yang berbeda untuk weekend ini.
Sabtu 21 April 2012 - tepat ulang tahun ibu Kartini – saya, CNL, dan rombongan dari puskesmas di daerah Donggala Kodi menuju ke daerah Salena dengan menaiki motor. Ada juga 1 mobil yang membawa peralatan kedokteran dan obat-obatan. Awalnya sempat kikuk karena salah kostum. Anggota yang lain simple menggunakan celana olahraga dan sandal jepit sedangkan kami berdua memakai pakaian seperti akan pemotretan. Hehe..sekalian hunting foto di atas gunung. Oh ya bagaimana kami bisa ikut dalam rombongan yang tidak kami kenal ini karena mahasiswa yang sedang melakukan KKN salah satunya adalah adiknya CNL. Nebeng dikit bolehlah..

Sampai Salena jalanan menjadi sempit, berbatu, dan naik turun. Kendaraan diparkir di lahan yang lumayan luas untuk menampung beberapa motor. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki naik naik naik ke puncak gunung. Jalanan mendaki dan berbatu dengan beberapa tikungan tajam. Lumayan olahraga gratis. Kami sempat berhenti untuk istirahat, menenangkan irama jantung yang mulai berpacu cepat karena kelelahan. Bila merasa capek, kami menyemangati diri dengan berteriak, “Untuk Indonesia Mengajar!”. Hehe, seakan-akan kami ini pasukan @pengajarmuda yang dikirim untuk mengajar di sekolah sana. Semangat kami bertambah setiap kali berpapasan dengan penduduk lokal yang “turun gunung” untuk bekerja. Ada yang pakai alas kaki seadanya, ada yang berjalan santai dengan telanjang kaki. Mereka menyapa kami, “Selamat pagi” sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi merah karena nginang (mengunyah daun sirih).
Begitu sampai di komplek rumah penduduk di desa Wana, rasa lelah lenyap dan berganti dengan takjub. Desa ini begitu tinggi di atas gunung. Saya bisa melihat rumah-rumah yang tampak kecil di Salena yang kami lewati tadi. Udaranya tidak panas dengan angin sepoi-sepoi. Di Wana tinggal sekitar 44 kepala keluarga. Rumah dan bangunan di sana semua dari papan kayu atau besek. Ada 1 bangunan tembok kokoh yaitu kamar mandi umum.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan di gereja yang sebenarnya berbentuk seperti rumah panggung. Bahkan saya tidak menyadari itu gereja karena bentuknya sangat berbeda dengan gereja seperti di kota. Beberapa papan kayu di gereja sudah berlubang dan saya hampir salah injak. Sampai di sana, warga sekitar diajak untuk berkumpul di gereja tsb untuk diperiksa, ditimbang, dan diberi obat. Sebagian malu-malu dan hanya duduk di pojokan. Masuk ke sana, I feel so strange, mereka menggunakan bahasa Kaili yang tidak saya mengerti. Ini saya lagi di mana ya?
Kids in Wana
Ada sebuah sekolah di Wana dari papan-papan kayu. Ruangan kelasnya cuma 1 dan tanpa sekat. Ada 3 papan tulis dan beberapa bangku. Saat ke sana sekolah belum dimulai. Seorang dokter sedang menggunting kuku anak-anak tsb. Mereka tertib menunggu giliran kukunya digunting. Di samping sekolah ada halaman yang luas dan di ujungnya ada tempat untuk mencuci baju serta kamar mandi. Salah satu anggota rombongan kami sedang memandikan anak kecil di sana. Airnya jernih dan melimpah, namun penduduk di sana jarang mandi. Saat ditinggal pergi oleh dokter, Iwan (anak kelas 6) membantu menggunting kuku teman-temannya. Saya mendekati segerombolan anak kecil yang sedang duduk dan mencoba berkomunikasi dengan mereka (semoga mengerti bahasa Indonesia :p). Mereka malu-malu untuk bicara dan suaranya sangat lirih. Baju kumal, sobek di sana-sini, tidak pakai alas kaki, rambut kering, ada juga yang kulitnya luka membuat saya miris. Mereka ini pasti deh ga mandi. Gimana ya orang tuanya kok ga merawat anak. Atau orang tuanya juga begini?
Saat anak-anak ini dikumpulkan di sekolah, kuku mereka diperiksa satu-persatu. Yang kukunya panjang dan kotor akan dipotong. Untuk yang kukunya sudah dipotong diberi permen sebagai hadiah. Mereka diingatkan kembali untuk memakai alas kaki, mandi, dan menyikat gigi. Saat ditanya mana sikat gigi yang telah diberi sebulan yang lalu, tidak ada yang punya. Entahlah kemana sikat gigi itu. Kalau kata guru di sana, mungkin sikat giginya untuk menyalakan api sebagai pengganti kayu bakar X_x. Pada akhirnya kelas menjadi sepi dan sekolah pun bubar karena anak-anak sedang diperiksa dan diberi obat cacing di gereja. Menurut guru di sana, sekolah ini sebenarnya telah mendapat anggaran dari pemerintah untuk dibangun menjadi lebih layak. Namun para vendor mundur satu persatu karena lokasinya yang sulit dijangkau untuk membawa alat dan bahan untuk membangun sekolah. Buat saya, melihat mereka datang ke sekolah merupakan suatu hal yang istimewa. Di tempat yang jauh dari perkotaan, minim fasilitas, mereka masih mau sekolah. Mungkin sekolahnya hanya beberapa jam dengan pelajaran ala kadarnya, yang penting sekolah! Saya membayangkan program Indonesia Mengajar yang diprakarsai @AniesBaswedan dengan mengirimkan para sarjana ke daerah terpencil untuk mengajar selama satu tahun. Tantangan yang dihadapi luar biasa dengan keterbatasan fasilitas dan bahasa yang belum tentu penduduk lokal mengerti bahasa Indonesia.

Sekolah Alam
Setelah dua jam berada di Wana, saatnya kami turun gunung. Yeay! Perjalanan yang mengerikan karena jalanan yang terjal. Saya sempat terpeleset namun bisa segera menyeimbangkan diri. Perjalanan turun  lebih cepat karena tidak banyak beristirahat meski lutut ini gemetar menahan tubuh. Di jalan kami bertemu penduduk lokal yang sedang beristirahat. Ternyata mereka sedang melebarkan jalan atas arahan pendeta supaya kalau ada orang bawah mau naik bisa lebih mudah membawa barang-barang. Sampai di sungai bawah, kami mendinginkan kaki sejenak. Aliran sungai yang tidak deras dan air yang jernih membuat refresh setelah perjalanan dari Wana.  Sampai kembali di Salena, ambil motor, dan meluncur ke kota Palu.

When I was...

Monday, April 16, 2012
i found freedom in my college time

Terkadang ingat masa masa itu
berdesak-desakan di KRL yang kini disebut Commuter Line
bersembunyi dari pemeriksa karcis kereta karena kami (berdua dengan teman) naik kereta tanpa karcis yang harganya cuma seribu rupiah
berusaha mencari udara dengan mendongakkan kepala
terjepit di antara ketiak-ketiak pekerja kantoran maupun kuli bangunan menuju kota yang (katanya) penuh harapan bernama Jakarta
menyaksikan seorang ibu yang duduk sambil mengantuk di pinggir pintu kereta dijambret dengan mudah, seuntai kalung yang menggantung tinggal separuh di lehernya, penjambret dengan gesit melompat turun dari kereta yang mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun
melihat dengan iba anak-anak kecil yang cacat anggota tubuh dimanfaatkan untuk mengemis
memandang miris pada seorang penyapu kereta yang kumal dan menetes (cairan nampak seperti) darah dari dahinya, yang ketika seorang penumpang menawarkan tisu untuk mengusap luka itu langsung ditolaknya, dan batinku berkata justru itulah sumber penghasilannya, dari rasa iba atas luka buatan

Terkadang ingat masa masa itu
di mana tidak peduli saldo di rekening tabungan atau berapa lembar uang tersisa di dompet
seusai kelas naik bus berwarna kuning yang tak jelas kapan datangnya, menuju pusat perbelanjaan di sebelah
sekedar melihat model model pakaian dan sepatu yang baru
yang dua tahun setelahnya ternyata model seperti itu masih laris manis di luar pulau Jawa dengan harga dua kali lipat
jika ada keinginan kuat, tiap hari menabung dari hasil mengajar para bule untuk menikmati setangkup burger di mall, burger yang paling spesial karena tersusun dari berlapis lapis daging sayuran dan keju, begitu nikmat hasil dari kerja sendiri

Terkadang ingat masa masa itu
sore hari menuju ke selatan Jakarta dengan Menul, motor butut yang tangguh, untuk berjumpa dengan para adik asuh
berbagi pengetahuan sambil bercanda tawa
matematika dan bahasa menjadi favorit mereka
jajan bersama sambil mendengar cerita di sekolah
betapa dapat kulihat harapan di mata anak anak ini
hanya perlu sedikit arahan supaya tidak menjadi korban sinetron
entah bagaimana kabar mereka sekarang, semoga selalu dalam lindungan Allah

to be continued...

Goes to Luwuk - Kota Berair

Monday, April 9, 2012
Yang mendadak itu lebih sering jadi dibanding yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Quote ini cocok untuk menggambarkan trip mendadak dangdut ke Luwuk, suatu kota di ujung sulawesi. Kota yang saya sendiri tidak tahu seberapa jauh untuk dijangkau lewat jalur darat, bagaimana kotanya, ada apa saja di sana. Cuma satu di benak saya, mumpung di Sulawesi, mari menjelajah!

jernihnya air pantai kilo lima

Auto Post Signature

Auto Post  Signature
Stay happy and healthy,